Unsur Intrinsik pada Novel Tenggelamnya Kapan Van der Wijck
Kamis, 23 Desember 2021 09:49 WIB
Karya sastra pada dasarnya adalah pelaksanaan kehidupan, ini adalah hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan disekitarnya. Seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra pasti didasari pada pengalaman yang telah diperoleh dari realitas kehidupan di masyarakat yang terjadi pada tokoh di dunia nyata yang akan dituangkan ke dalam bentuk karya sastra pengarang. Bahasa dalam karya sastra adalah sebuah alat untuk memberikan rasa khusus yang mengandung nilai estetik, selain sebagai sarana komunikasi, yang mampu menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada penikmatnya atau pembacanya. Menurut Thohari (2014:1)
UNSUR INTRINSIK PADA NOVEL
TENGGELAMNYA KAPAL VAN der WIJCK
Karya sastra pada dasarnya adalah pelaksanaan kehidupan, ini adalah hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan disekitarnya. Seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra pasti didasari pada pengalaman yang telah diperoleh dari realitas kehidupan di masyarakat yang terjadi pada tokoh di dunia nyata yang akan dituangkan ke dalam bentuk karya sastra pengarang. Bahasa dalam karya sastra adalah sebuah alat untuk memberikan rasa khusus yang mengandung nilai estetik, selain sebagai sarana komunikasi, yang mampu menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada penikmatnya atau pembacanya. Menurut Thohari (2014:1)
Sinopsis
Novel roman ini terbit pertama kali pada tahun 1939. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini terbit pertama kali dalam bentuk cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat [Medan, 1938], yang kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951, dan selanjutnya oleh Nusantara dan Bulan Bintang. Novel ini juga terbit di Kuala Lumpur pada tahun 1963.
Dengan latar belakang Minangkabau di awal abad 20, novel ini berkisah tentang Zainuddin dan Hayati yang berniat bersama mendirikan rumah tangga berdasar cinta kasih, namun terhalang karena macam-macam aturan tradisi Minangkabau, tapi lahir di Makassar: Pemuda ini dianggap orang asing. Adalah Aziz, seorang pemuda dari keluarga kaya dan secara adat berhak, akhirnya menikahi Hayati. Zainuddin yang sedih pindah ke Jakarta, lalu ke Surabaya bersama sahabatnya Muluk.
Takdir membawa Aziz pindah ke Surabaya. Aziz dan Hayati malah menumpang di rumah Zainuddin karena Aziz menganggur setelah dipecat dari pekerjaannya. Aziz yang merasa malu pindah ke Banyuwangi dan menyerahkan Hayati ke Zainuddin. Tapi Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke kampung halaman. Janda yang malang ini patuh, kembalilah ke Padang, naik kapal laut Van der Wijck. Kapal itu tenggelam di perairan Tuban.
Pendekar Sutan membunuh Mamaknya (saudara laki-laki ibunya) karena masalah warisan, sehingga ia harus dihukum dengan diasingkan ke luar dari Batipuh, Minangkabau dan dipenjara di Cilacap selama 12 tahun. Usai menjalani hukuman tersebut, Sutan pun pergi merantau ke Makassar dan berjumpa dengan wanita bernama Daeng Habibah. Ia lalu menikahinya. Mereka memiliki seorang putra yang dinamai Zainuddin. Namun tak lama setelah melahirkan, Daeng Habibah meninggal karena penyakit. Sutan pun menyusul tak lama setelah istrinya meninggal.
Zainuddin yang hidup sebatang kara lalu diasuh oleh Mak Base. Setelah dewasa, Zainuddin memutuskan pergi ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Minangkabau. Akan tetapi, bukannya disambut dengan baik oleh sanak keluarga sang ayah, Zainuddin malah diacuhkan. Itu karena ia memiliki darah ibu dari luar suku Minangkabau, walau ayahnya berasal dari sana. Ia dianggap sudah terputus darah dengan keluarganya di Batipuh, sebab daerah Minangkabau menganggap wanita lah yang menjadi kepala keluarga (matrilineal) dan menjadi penyambung keturunan.
Di tempat yang baru itu, Zainuddin memiliki seorang teman bernama Hayati, wanita asal Minang yang kerap jadi tempatnya berkeluh kesah melalui surat. Keduanya kemudian lama kelamaan saling suka, karena Hayati merasa kasihan pada Zainuddin yang terlunta-lunta. Namun, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi keluar dari Batipuh karena tak suka dengan hubungan mereka. Zainuddin pun pergi ke Padang Panjang, meninggalkan Hayati yang berjanji untuk setia. Mamak Hayati kemudian menjodohkan wanita itu dengan Aziz, pria Minang yang berasal dari keluarga terpandang serta kaya. Hayati mau tidak mau menerima pinangan Azi dan menikah dengannya. Zainuddin yang mengetahui bahwa kekasihnya Hayati sudah menikah dengan pria lain, kemudian memutuskan pindah ke Batavia bersama dengan temannya yang bernama Muluk. Ia mulai menjadi penulis yang karya-karyanya disukai banyak orang. Setelahnya, ia kembali hijrah ke Surabaya, dan tinggal di sana dengan pekerjaan yang mapan.
Tak disangka, Aziz pun pindah ke Surabaya bersama Hayati, istrinya. Namun karena sering bertengkar, rumah tangga Aziz dan Hayati terpaksa berpisah. Aziz yang dipecat dari pekerjaannya tak bisa lagi sombong dan terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Ia dan Hayati tinggal sementara di rumah mantan kekasih Hayati itu, yang kini sudah menjadi penulis terkenal. Karena frustasi, Aziz memutuskan bunuh diri dan menuliskan surat wasiat untuk Zainuddin. Ia meminta Zainuddin menjaga Hayati. Zainuddin menolak menerima Hayati kembali, karena sakit hati wanita itu sudah mengkhianati dirinya. Ia malah membelikan untuk Hayati sebuah tiket kapal Van Der Wijck yang berlayar dari Jawa ke Sumatera. Dengan sedih karena suaminya meninggal dan Zainuddin menolaknya, Hayati pun pulang ke Minang. Di perjalanan, kapal Van Der Wijck tenggelam namun sebagian penumpangnya berhasil diselamatkan di rumah sakit wilayah Tuban. Zainuddin yang mendengar kabar tersebut segera berangkat ke Tuban untuk mencari Hayati.
Di rumah sakit, ia menemukan Hayati sedang sekarat dan kemudian meninggal dunia. Muluk, teman Zainuddin mengatakan bahwa Hayati sebenarnya masih mencintai Zainuddin. Mendengar hal itu, Zainuddin menyesali dirinya. Setelah memakamkan Hayati, Zainuddin dilanda kesedihan panjang dan jatuh sakit pula. Kondisi tubuhnya menjadi lemah, dan tak lama kemudian Zainuddin meninggal. Zainuddin dan Hayati dimakamkan berdampingan di tanah Jawa.
Unsur Intrinsik
1. Tema
Novel roman karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang bertemakan kisah cinta sejati namun, tidak dapat disatukan karena adat Minangkabau yang terlalu mendiskriminasi.
2. Alur
Pada cerita ini menggunakan alur maju, sudah terlihat juga pada tema (novel roman) yang menceritakan perjalanan kisah tokoh secara rinci dari kecil hingga mati.
3. Tokoh
Tokoh utama
- Zainuddin
- Hayati
- Khadijah
- Aziz
Mengapa hanya tokoh ini? Karena, mereka sering terlibat dalam dialog langsung.
Tokoh Pendukung:
- Mak Base (Orang Tua Angkat Zainuddin)
- Muluk (Sahabat Zainuddin)
- Daeng Masiga
- Mak Tengah Limah (Mamak dari Hayati)
4. Penokohan
- Zainuddin (Protagonis)
Zainuddin adalah pemuda yang baik, alim, peduli, taat, sabar, penyayang, sederhana, memiliki cita-cita yang tinggi, cerdas, menghargai orang lain, orang yang sangat menghormati orang tuanya.
- Hayati (Protagonis)
Hayati adalah wanita yang baik, lemah lembut, pendiam, penurut hingga tidak bisa melawan, memiliki sifat setia, sabar, Hayati juga sangat menghormati orang tuanya.
- Aziz (Antagonis)
Aziz adalah pemuda yang kaya raya, orang terpandang, boros, kasar, tidak setia, tidak memiliki tujuan hidup, orang yang tidak beriman, putus asa, dan menelantarkan istrinya.
- Khadijah
Perempuan yang berpendidikan, keras, suka mempengaruhi orang lain, kaya raya, baik kepada teman, orang kota, memiliki keinginan yang kuat.
5. Sudut Pandang
Pada novel ini penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga.
6. Latar/Setting
Latar tempat
- Mengkasar (tempat lahir Zainuddin)
- Dusun Batipuh (tempat lahir Hayati dan bertemunya Zainuddin dan Hayati)
- Batavia/Jakarta (tempat Muluk dan Zainuddin pertama kali pindah ke jawa)
- Surabaya (tempat Zainuddin dan Muluk bekerja/setelah pergi dari Dusun Batipuh)
Latar Waktu
- Siang
Tidak begitu jelas di dalam novel tentang latar waktu.
Latar Suasana
- Senang (Ketika Hayati menerima cinta Zainuddin)
- Sedih (Ketika menerima kenyataan bahwa Hayati harus menikahi pemuda kaya raya nan sombong yang dijodohkan oleh orang tuanya)
- Menegangkan (Ketika Zainuddin menyuruh Hayati kembali ke kampung halaman, dan terjadi kecelakaan kapal)
7. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan pada novel ini adalah bahasa melayu yang kental, dicampur juga dengan bahasa Minangkabau.
8. Amanat
Amanat yang disampaikan pada novel ini adalah, bahwa sesuatu yang kita cintai itu tidak harus kita miliki. Terkadang jika kita melakukannya dengan memaksa atau harus, itu bisa berujung dengan sesuatu yang tidak kita inginkan.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Unsur Intrinsik pada Novel Tenggelamnya Kapan Van der Wijck
Kamis, 23 Desember 2021 09:49 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler